Senin, 13 Februari 2012

BONG

Bong berdiri terpaku di salah satu sisi pelataran parkir di sebuah gedung pusat pertokoan mewah. Hujan yang turun sejak tadi malam masih menyisakan awan kelabu yang meneteskan rintik-rintik hujan dan menghembuskan angin sejuk di ibukota yang biasanya panas ini. Di bawah tampak berderet-deret kendaraan bermotor yang parkir secara paralel. 

Bong menghela nafas, menahan rasa nyeri yang kembali datang. Sudah tiga tahun ini ia menderita penyempitan pembuluh darah di jantungnya. Berbagai macam jenis racun yang bernama obat telah pula melewati kerongkongannya dan bersemayam di dalam tubuhnya untuk sekedar sedikit memperpanjang umurnya. Dokter yang merawatnya menyarankan agar ia menjalani operasi pembedahan jantung untuk mengganti saluran yang tersumbat yang semakin membuat Bong tertekan mengingat biaya operasi tersebut yang mencapai angka ratusan juta rupiah. Kemana ia akan mencari uang sebanyak itu ? Penghasilannya sebagai petugas kebersihan di sebuah kompleks perumahan tentulah tak akan pernah cukup. Meminjam uang ? Kepada siapa ? Dan siapa pula yang akan bersedia meminjamkan uang kepadanya ? Sedangkan untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya saja ia sudah membuat tumpukan hutang yang menggunung kepada hampir seluruh penghuni kompleks perumahan dimana ia bekerja.

Bong mengusap wajahnya yang terasa panas dan basah bersimbah air mata. Terbayang kembali wajah seorang perempuan ayu dan lugu yang pernah dinikahinya dan sepasang anak yang manis dan lucu. Rasa sesak di dada Bong semakin menyiksa. Masih terbayang jelas di matanya tangis mereka ketika Bong mengusir mereka dari rumah mewahnya hanya karena tersihir oleh kecantikan seorang wanita muda berparas bak bidadari yang mampu menyeretnya ke dalam arus gelombang birahi yang maha dasyat. Dimana Bong tak lagi berdaya untuk menolak segala perintahnya. Tangis istri dan anak-anaknya tak sedikit pun mampu menyentuh nuraninya. Bong justru tertawa dan berlalu penuh kebanggaan.

Bidadari itu membawa Bong memasuki sebuah kehidupan yang tak pernah dikenal sebelumnya. Hidup Bong pun berubah, siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Berbagai tempat hiburan yang gemerlap penuh asap rokok dan aroma alkohol mulai menjadi dunianya. Meja judi pun menjadi tempat persinggahan Bong setiap malam.

Ketika Bong telah benar-benar mabuk, Sang Bidadari pun mulai bertanduk dan mengeluarkan taringnya. Senyumnya yang dulu begitu menggoda kini berubah menjadi seringai yang mengerikan. Bong kini bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya. Seorang dengan prestasi memukau ketika menjadi mahasiswa berubah menjadi dungu. Dan yang lebih menyakitkan, Bong harus terusir dari rumahnya sendiri, terpaksa merelakan segala harta yang dimilikinya berpindah ke tangan Sang Bidadari. Gelombang maha dasyat itu telah menghempaskan Bong pada sebuah pulau gersang bernama 'kemiskinan'. Di pulau itu Bong hanya sendiri, membangun sebuah tempat berteduh dari kardus-kardus bekas tanpa sebuah perabotan pun. Beruntung Bong masih bisa mendapatkan sebuah pekerjaan sekedar untuk makan.

Penyesalan selalu datang terlambat. Setiap malam, wajah istri dan anak-anaknya selalu mengisi ruang mimpi Bong. Berharap Tuhan masih bersedia mengabulkan do'anya untuk dapat berkumpul kembali dengan mereka. Pada suatu kesempatan Bong melihat istri dan anak-anaknya. Kehidupan mereka tampak jauh di atas Bong. Mereka turun dari sebuah mobil mewah. Kebahagiaan Bong meluap memenuhi segenap sudut hatinya. Bong berlari menyongsong mereka. Tapi sebuah pemandangan lain terpaksa menghentikan langkahnya. Dari sisi yang lain, turun seorang pria perlente yang lalu menggandeng mesra istrinya, sementara salah seorang anaknya bergayut manja di lengan pria itu. Pria yang sangat dikenalnya. Sahabatnya sejak ia masih di bangku sekolah menengah. Sahabat yang telah berkali-kali datang mengingatkannya dan memintanya untuk kembali kepada istri dan anak-anaknya. Sahabat yang ia pukuli memalui tangan para bodyguardnya hingga terluka dan harus menjalani perawatan di sebuah Rumah Sakit. Sahabat yang kemudian ia dengar menikah dan pindah ke luar negeri. Sungguh tak pernah terpikirkan oleh Bong bahwa sahabatnya telah menggantikan posisinya bagi istri dan anak-anaknya. Bong berdiri terpaku di tempatnyua. Didera penyesalan dan rasa malu yang tak dapat dilukiskan, Bong hanya mampu menatap mereka dari kejauhan. Matanya terasa panas dan pedih oleh sebentuk sungai kecil yang mengalirkan air matanya.

Hujan sudah berhenti, kini matahari mulai menampakkan sinarnya, mengusir awan hitam di langit. Jalan aspal di bawah gedung masih basah oleh sisa air hujan dan di beberapa tempat menyisakan genangan air kotor. Bong memandang langit, memicingkan matanya yang silau tertimpa sinar matahari. Deru kendaraan bermotor yang lalu lalang tak sedikit pun mengusiknya untuk beranjak pergi. Bong menatap jari-jari tangannya yang menghitam dan berkerut termakan usia. Matanya yang telah berlapis kabut putih katarak tak lagi memberikan daya lihat yang sempurna. Lagi-lagi Bong mengusap air matanya. Nyeri di dadanya terasa lagi, kali ini terasa semakin sesak.

Bong mendesah. Seandainya saja waktu dapat diputar kembali. Seandainya saja ia tak lupa diri dan membiarkan dirinya terhanyut dalam gelombang yang dibuat oleh Sang Bidadari yang ternyata hanyalah iblis yang sedang menyamar. Betapa Bong ingin mengulang semuanya, memperbaiki segala kesalahannya. Tpi di mata Bong semuanya telah tampak begitu terlambat.Air matanya mengalir semakin deras. Nyeri di dadanya semakin tak tertahankan. Bong memejamkan matanya.

"Paaakkk, jangaaaaannn !!" tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak. Bong melihat seorang petugas keamanan berlari ke arahnya dan berhenti tepat di sampingnya. Satpam itu menatap jauh ke bawah gedung dan berusaha menghubungi seseorang melalu handy talky.
"Ada yang melompat dari lantai tujuh, Pak!" suaranya terdengar panik.
Bong melihat ke bawah. Dari tempat ia berdiri, ia melihat tubuhnya tegeletak di aspal bersimbah darah. Sisa air hujan yang tergenang memerah oleh darahnya. Beberapa orang tampak mulai berdatangan mengerumuni jasadnya.

Jakarta, 10 Februari 2010

-.Miss Kodok.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar