Selasa, 18 Juni 2013

9 Summers 10 Autumns9 Summers 10 Autumns by Iwan Setyawan
My rating: 2 of 5 stars

Membeli buku ini sejak lama tapi entah kenapa belum tertarik untuk menyentuhnya hingga akhirnya buku ini diangkat ke layar lebar. Ketika filmnya tayang di bioskop, keinginan saya untuk melihatnya terbentur oleh karena belum membaca bukunya. Saya termasuk orang yang lebih memilih membaca dulu baru menyaksikan filmnya karena beberapa alasan:
1. Saya selalu khawatir tidak lagi memiliki semangat untuk membaca bukunya bila sudah melihat filmnya.
2. Saya pun selalu khawatir bila melihat filmnya dahulu, maka saya akan kehilangan gambaran tokoh sesuai imajinasi saya, karena yang terbayang tentu saja adalah tokoh yang digambarkan di dalam film.
untuk alasan itulah, maka saya pun mengaduk-aduk lemari buku saya mencari buku ini.

Bagian pertama buku ini menceritakan tentang tahun pertama keberadaan Iwan, Sang Penulis di kota New York ketika ia mengalami penodongan, dan disini pula untukpertama kali ia bertemu dengan seorang bocah laki-laki berseragam SD, putih-merah, seorang anak yang kemudian menjadi tokoh imajinernya. Tokoh yang membukakan kemampuannya untuk berkisah tentang masa alau dan segala rahasia hatinya.

Berangkat dari kehidupan yang serba kekurangan di kota Batu yang terkenal dengan sebutan kota apel, Iwan kecil memulai kisahnya. Bercerita tentang betapa sulitnya kehidupan yang harus ia lalui bersama keempat saudarinya di sebuah rumah sempit. Ayahnya hanya seorang sopir angkot yang menjadi keras karena tempaan hidup, namun cinta kasih yang menaungi mereka sekeluarga menjadikan mereka semua pribadi yang kuat dan pantang menyerah. Segala pengorbanan yang dilakukan orang tua beserta kelima anak-anak mereka telah membuahkan hasil yang membahagiakan. Kehidupan ekonomi mereka perlahan tapi pasti terangkat menjadi jauh lebih baik dari apa yang sekedar mereka harapkan, jauh dari sekedar apa yang dapat mereka impikan.

Sekilas buku ini tidak jauh berbeda dengan cerita Laskar Pelangi ataupun Negeri 5 Menara dimana dikisahkan tentang seorang anak yang bukan siapa-siapa, namun dengan berbekal semangat pantang menyerah bisa menjadi seseorang . Iwan hanya mencoba menampilkan kisah hidupnya dengan cara yang sedikit berbeda, juga dengan pemilihan kata (diksi) yang menurut saya agak kurang laki-laki.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ketika kita membaca tulisan seseorang, secara nyata atau tidak, kita telah sedikit lebih mengenal karakter Sang Pengarang melalui tokoh yang terdapat di dalam cerita. Begitu pula dengan buku ini, semakin dalam kita memasuki cerita dalam buku ini, maka kita akan semakin mengenal karakter sang penulis, yang entah kenapa, ada satu sisi yang mengganjal perasaan saya.
Mungkin saja saya terpengaruh dengan begitu banyaknya percakapan dengan sang bocah imajiner dalam bahasa Inggris yang menjadikan sang tokoh utama tak lagi tampak sebagai seorang tokoh yang sederhana, dan sebutan-sebutan tempat ðï kota NewYork yang begitu banyak bertebaran dalam setiap lembar cerita, membuat saya sebagai pembaca merasa begitu terasing (entahlah bagi pembaca yang memang sudah pernah berkunjung ke NewYork dan mengenal setiap sudut kota tersebut), dan menjadikan sang tokoh menjadi kurang membumi di mata saya.

Kemudian ada suatu yang begitu mengganjal ðï benak saya ketika saya sampai pada halaman terakhir buku ini. Sang tokoh, yang ketika kecil harus bergumul dalam kesulitan dan keterbatasan ekonomi, sehingga begitu banyak keinginannya yang hanya menjadi sebuah keinginan, lalu kemudian meraih apa yang lebih dari sekedar apa yang berani ia impikan. Dan ketika ia telah memiliki kehidupan yang mapan, ketika ia telah menduduki jabatan yang menjadi impian begitu banyak orang, ia memutuskan untuk meninggalkan karirnya yang cemerlang hanya karena seringnya ia tersiksa kerinduan akan kota kecil dimana ia lahir dan dibesarkan. Padahal selama 9 musim panas dan 10 musim gugur telah mampu ia lewati dengan baik, masa-masa sulit diawal kedatangannya ke NewYork pun telah terlewati. Saya merasa ada yang kurang pas dengan pemikiran saya. Kemana sang tokoh yang telah tertempa dengan baik sejak kecil dalam mengejar semua mimpi-mimpinya ? Kemana sang tokoh yang telah bersusah payah mengejar mimpinya bila kini ia meninggalkan segala yang ia miliki hanya karena tak lagi tahan menghadapi kerinduan akan kota kelahirannya ? Ataukah jangan-jangan keputusannya meninggalkan apa yang telah diraihnya selama ini dikarenakan suatu hal yang harus dilakukan dengan terpaksa #nuduh.

Terlepas dari itu semua, toh itu hanya pemikiran saya seorang sebagai pembaca (dan bukan siapa-siapa). Iwan tentu punya alasan tersendiri. Dan terlepas dari apa pun juga, buku ini cukup layak untuk dijadikan sebagai buku referensi bagi orang-orang yang hampir kehilangan semangat untuk meraih mimpi mereka.

Dan ketika saya telah menyelesaikan membaca buku ini, maka saya telah kehilangan keinginan untuk menyaksikan filmnya di layar lebar.

-Miss Kodok.-

View all my reviews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar